SEJARAH BUKU LECES (LETJES)

SEJARAH BUKU LECES (LETJES)

 Nama Leces atau dalam ejaan lama ditulis Letjes telah menjadi sejarah yang sulit dilupakan bagi anak-anak sekolah era Tahun 1980 hingga 1990 an.
Pada tahun-tahun itu bagi anak sekolah, hususnya di kampung hanya mengenal satu jenis buku tulis saja, buku itu bermerek Leces/Letjes, sampulnya berwarna biru, apabila terkena hujan warnanya memudar, lucu memang, sebab pudaran warna birunya kadang melekat pada tas anak-anak sekolah yang kala itu kebanyakan terbuat dari kain, atau kadang juga melekat pada tangan bahkan baju seragam sekolah yang kebutulan berwarna putih.

Kenangan tentang buku tulis Leces memang sulit dilupakan. Kini buku yang bersejarah sekaligus buku yang mempopulerkan nama “Leces”  itu seperti musnah ditelan zaman.
Buku Leces/Letjes diproduksi di sebuah Pabrik kertas tua yang sudah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda  pada tahun 1939 di Probolinggo Jawa Timur. Pabrik kertas Leces didirikkan pemerintah Belanda dengan konsep pemanfaatan ampas tebu dari pabrik-pabrik gula milik pemerintah Belanda yang bertebaran di sekitaran Probolinggo.
SEJARAH BUKU LECES (LETJES)



Pabrik dari awal mula pendiriannya dikisahkan tanpa nama, hanya pabrik kertas saja, begitulah penduduk setempat mengenalnya, hanya saja di kemudian hari pabrik itu mendapatkan namanya, yaitu “Letjes/Leces”

Nama Leces/Letjes sebenarnya adalah nama desa dimana pabrik kertas itu berdiri, sekarang selain menjadi nama desa, Leces juga menjadi salah satu nama Kecamatan di wilayah Kabupaten Probolinggo.
Pabrik kertas Leces kini menjadi PT Kertas Leces Persero, atau perusahaan milik Negara (BUMN), hal ini tentu wajar sebab aset-aset milik pemerintah Belanda selepas kemerdekaan  menjadi hak milik Negara.
PT Kertas Leces hingga kini masih memproduksi kertas, hanya saja produk-produk yang dihasilkan agaknya fokus pada jenis kertas print seperti kertas HVS A4, A5 dan lain sebagainya yang biasa digunakan untuk usaha fotocopy dan jasa pengetikan.

Pada Tahun 2010 PT Kertas Leces pernah dinyatakan pailit atau bangkrut, dan  pada tahun 2014  bsngkit kembali setelsh ada suntikan dana dari Pemerintah.  Pabrik kertas tertua kedua di Indonesia itu hingga kini masih berjalan meskipun dikabarkan sempoyongan.




Post a Comment

0 Comments